Kopdes Merah Putih: Ambisi Besar Membangun Ekonomi Desa, Antara Janji, Risiko, dan Realitas di Lapangan


Pemerintah kembali menegaskan ambisi besar menghadirkan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) sebagai tulang punggung ekonomi desa. Pada kuartal akhir 2025, Kementerian Koperasi dan UKM menyebut sedikitnya 30.500 titik tanah telah teridentifikasi siap digunakan sebagai lokasi pembangunan koperasi. Angka ini menjadi pijakan awal dalam rencana masif membentuk puluhan ribu koperasi desa di seluruh Indonesia.

Namun di balik optimisme itu, ada dinamika yang tidak sederhana. Program ini bukan hanya proyek pembangunan fisik, tetapi agenda rekayasa ekonomi berskala nasional. Dan, seperti semua proyek besar, ia membawa janji keuntungan besar—sekalian risiko yang tidak bisa disepelekan.


Gerak Cepat Pemerintah dan Ambisi Raksasa

Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menekankan Kopdes sebagai “mesin ekonomi baru” yang akan menyalurkan pangan murah, memotong rantai distribusi, sekaligus membuka akses pembiayaan untuk warga desa. Setiap unit koperasi bahkan digodok untuk memperoleh dana Rp3–5 miliar per desa, sebuah lonjakan luar biasa dibanding program pemberdayaan desa sebelumnya.

Target akhirnya ambisius: 70.000–80.000 koperasi desa harus berdiri, lengkap dengan badan hukum, pengurus, serta model bisnis yang siap eksekusi.

Untuk mempercepat legalitas, pemerintah sudah mengaktifkan satgas khusus. Hasilnya mencengangkan: lebih dari 80.000 koperasi mulai masuk proses pendataan dan legalisasi, sebagian telah resmi berbadan hukum hanya dalam hitungan bulan.

Di atas kertas, semuanya bergerak cepat. Bahkan terlalu cepat untuk ukuran sistem birokrasi Indonesia.


Masalah Tanah: Tidak Semua Desa Punya Lahan

Optimisme pemerintah bertemu realita keras ketika memasuki isu lahan. Tidak semua desa punya tanah khas desa yang bisa langsung digunakan. Beberapa desa terpaksa mengusulkan tanah alternatif, meminjam lahan warga, atau bahkan menunggu revisi tata ruang.

Di beberapa wilayah, kepala desa mengaku kebingungan karena lahan yang tersedia justru berstatus sengketa atau masuk area konservasi. Opsi pembebasan lahan muncul, tetapi itu berarti biaya tambahan—dan risiko baru.

Walaupun pemerintah menegaskan 30.500 titik tanah sudah siap, angka itu tetap baru separuh dari kebutuhan total. Masalah ini menjadi PR besar karena koperasi tidak bisa beroperasi tanpa gedung dan fasilitas fisik yang memadai.


Kontroversi: Penolakan Kades dan Teguran Menteri

Tidak semua pihak satu suara. Beberapa kepala desa menolak atau mempertanyakan urgensi program ini. Ada yang takut akan beban utang, ada yang ragu koperasi akan benar-benar jalan, ada pula yang menilai programnya terlalu top-down dan tidak menggali inisiatif lokal.

Penolakan itu langsung dibalas keras oleh Mendagri, yang menyebut tindakan tersebut “mengkhianati rakyat”. Pernyataan itu menyulut polemik: apakah desa diberi ruang memilih, atau sekadar menjadi pelaksana?

Kritik kemudian melebar—bahwa pembangunan besar-besaran ini rawan dimanfaatkan secara politis, apalagi skala investasinya triliunan rupiah.


Ekosistem Besar, Risiko Besar

Desain Kopdes Merah Putih mencakup banyak unit usaha:gerai sembako, simpan-pinjam, gudang logistik,dan offtaker hasil pertanian.

Model ini ideal: koperasi menjadi pusat ekonomi, sosial, dan distribusi pangan di desa.

Tapi setiap unit usaha membawa risiko operasional. Koperasi butuh manajer profesional, sistem akuntansi rapi, dan kemampuan menjalankan bisnis tanpa bocor sana-sini. Faktanya, banyak desa selama ini tidak siap dengan administrasi koperasi yang kompleks.

Belum lagi ancaman klasik sektor koperasi: moral hazard, pengawasan lemah, dan risiko kredit macet.

Jika tata kelola tidak kuat, koperasi mudah sekali tumbang begitu berhadapan dengan urusan utang, stok barang, atau arus kas yang tidak sehat.


Harapan Besar: Desa Mandiri Tanpa Tengkulak

Di sisi lain, potensi Kopdes Merah Putih juga tidak main-main. Jika sistemnya benar-benar berjalan, desa dapat memutus ketergantungan pada tengkulak dan rentenir. Petani bisa menjual langsung ke koperasi dengan harga lebih adil. Warga mendapat akses barang pokok yang lebih murah. Pemerintah punya satu titik distribusi resmi di setiap desa.


Dalam skenario ideal, Indonesia mendapatkan sentra ekonomi desa baru—struktur ekonomi akar rumput yang lebih kuat, lebih efisien, dan lebih mandiri.


Masih Banyak Yang Harus Dibuktikan

Program Kopdes Merah Putih sedang memasuki fase kritis: tanah sudah mulai siap, legalitas bergerak cepat, dan struktur organisasi sedang dibangun. Tetapi pertanyaan utamanya belum terjawab:

Bisakah koperasi ini bertahan sebagai badan usaha yang sehat—bukan sekadar proyek pencitraan atau koperasi “papan nama”?

Jawaban itu ada di 2026–2027, ketika semua koperasi mulai beroperasi penuh. Jika sukses, Kopdes akan menjadi proyek penguatan ekonomi desa terbesar sepanjang sejarah Indonesia modern. Jika gagal, ia akan menjadi catatan mahal bahwa membangun ekonomi kerakyatan tidak bisa sekadar diburu target.

Untuk saat ini, publik menunggu: akankah kopdes benar-benar menjadi motor ekonomi desa, atau justru menjadi beban baru?

Posting Komentar

0 Komentar