La Paz--Erkael News — Baru sebulan menjabat, Presiden Bolivia Rodrigo Paz langsung bikin gebrakan yang bikin ekonomi dan politik neraka-dingin panas sekaligus. Tepat pada Rabu (17/12/2025), ia mengumumkan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang telah jadi bagian dari keseharian Bolivia selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Langkah ini bukan sekadar perubahan harga — tapi break from the past, yang menandai babak baru dalam politik dan ekonomi negara Andean ini.
Paz, seorang politisi konservatif beraliran pro-bisnis yang baru terpilih pada Oktober lalu, mengumumkan kebijakan ini melalui pidato nasional yang disiarkan televisi. Dia menegaskan bahwa penghapusan subsidi bukan pengabaian terhadap rakyat, melainkan upaya menegakkan keadilan, transparansi, dan redistribusi sumber daya yang lebih jelas.
Mana Subsidi, Mana Dana Negara?
Subsidi BBM di Bolivia bukan hal kecil. Selama dua dekade, negara ini membeku pada harga BBM yang rendah: solar dan bensin premium dibanderol sekitar 3,72–3,74 bolivianos per liter (sekitar $0,54) sejak kebijakan subsidi diterapkan pada 2006.
Tapi sekarang semuanya berubah:
- Diesel naik dari cakupan subsidi 3,72 bolivianos menjadi 9,80 bolivianos per liter,
- Bensin premium dari 3,74 bolivianos menjadi 6,96 bolivianos per liter.
- Harga baru ini diterapkan sebagian besar dalam enam bulan awal — tapi setelah itu bisa direview lagi tergantung kondisi pasar.
Ini artinya harga BBM melonjak hingga lebih dari 100%. Gasolinanya sampai dua kali lipat dari sebelumnya, sementara solar melonjak lebih tinggi lagi.
Kenapa Langsung Copot Subsidi?
Paz jelas tidak main-main. Menurut dia, subsidi BBM yang sudah diterapkan selama hampir 20 tahun justru:
- Menguras cadangan devisa negara,
- Membebani anggaran fiskal secara ekstrem,
- Menjadi salah satu alasan krisis ekonomi terburuk dalam 40 tahun terakhir,
- Dan akhirnya malah menciptakan kelangkaan BBM di SPBU sejak 2023, karena pemerintah tak lagi mampu mempertahankan pasokan pada harga murah.
Dia bilang kalau kebijakan lama itu “menyembunyikan penjarahan” dan hanya membuat situasi jadi lebih buruk — serta memupuk ketergantungan pada subsidi yang sudah tak realistis lagi di tengah kondisi fiskal yang parah.
Efek Domino: Ekonomi & Politik Bergejolak
Dampaknya bukan hal kecil. Kebijakan ini memicu gelombang reaksi publik dan pasar:
Rakyat bingung dan marah: warga Bolivia, khususnya penduduk urban dan pengguna kendaraan, merasakan langsung lonjakan harga BBM. Sudah berdiri lama di SPBU sekarang makin terasa tekanan baru di kantong.
Tekanan inflasi meningkat: harga BBM yang naik itu cenderung memicu inflasi lebih luas di sektor transportasi, logistik, dan barang pokok, karena biaya distribusi ikut naik.
Ketegangan politik: usulan reformasi struktural yang lebih tajam ini menghadapi tantangan besar di parlemen, karena politisi oposisi konservatif maupun kiri sama-sama mempertanyakan arah perubahan.
Terlebih lagi, Bolivia baru saja keluar dari dua dekade pemerintahan kiri yang kuat — dominasi partai MAS (Movement Toward Socialism) yang selama ini mempertahankan subsidi karena alasan sosial dan ideologis. Kembalinya Bolivia ke pendekatan ekonomi pro-pasar tentu memantik debat keras di ruang publik dan parlemen.
Pemerintahan Baru, Arah Baru
Rodrigo Paz bukan orang asing di dunia politik Bolivia, tetapi kebijakan ini jelas menunjukkan bahwa dia ingin memulai pendekatan baru yang lebih pragmatis dan berorientasi pasar. Dalam pidato nasionalnya, ia juga menyampaikan bahwa penghapusan subsidi akan membuka pintu bagi importasi BBM oleh sektor swasta, mengurangi beban pada perusahaan minyak negara YPFB yang selama ini struggle menyediakan pasokan.
Selain itu, pemerintahannya juga mencanangkan beberapa langkah lain seperti peningkatan upah minimum nasional, perluasan bantuan sosial, serta klaim akan distribusi hasil dari penghematan subsidi ke daerah dan layanan publik.
Ini bukan reformasi setengah-setengah — ini reset ekonomi yang radikal.
Respons Pasar dan Dunia
Reaksi komunitas internasional beragam. Sektor bisnis menyambut langkah ini sebagai sinyal positif arah kebijakan Bolivia yang lebih stabil dan terbuka pada investasi. Tapi suara keras dari berbagai kelompok masyarakat memprotes langkah tersebut sebagai beban besar di tengah ekonomi yang masih rapuh.
Tak heran kalau Bolivia kini sedang melalui momen krusial: transisi dari ekonomi tertutup berbasis subsidi menjadi struktur yang lebih modern dan realistik. Itu risiko besar, tetapi potensi reward-nya juga nggak main-main kalau dikelola dengan baik.
