Siapa yang Sebenarnya Sedang Kita Hakimi?
Bagaimana rasanya berada di dua posisi paling berseberangan dalam waktu singkat?
Kemarin dipeluk empati. Hari ini ditelanjangi moral.
Kemarin disebut korban. Sekarang dituding pelakor.
Nama Inara Rusli sedang berada tepat di titik paling kejam dari ruang publik: ironi.
Publik bertanya-tanya, bahkan sebagian sudah memutuskan mencapnya sebagai perusak rumah tangga orang:
Bukankah dulu Inara korban perselingkuhan? Lalu kenapa sekarang justru disebut sebagai orang ketiga?
Dulu menjadi korban perselingkuhan mantan suaminya Virgoun dan sekarang malah menjadi trending topik sebagai Pelakor. Perusak rumah tangga Insanul Fahmi dan Wardatina Mawa.
Apakah ini karma? Atau sekadar cerita yang terlalu cepat disimpulkan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat satu hal jelas: kasus Inara bukan lagi sekadar isu personal. Ini sudah menjadi pengadilan massal berbasis narasi..
Dari Simpati Massal ke Amarah Kolektif
Kita semua ingat bagaimana Inara Rusli pertama kali mendapat simpati publik.
Narasinya sederhana, emosional, dan mudah dipahami: seorang istri disakiti, rumah tangga runtuh karena perselingkuhan, anak-anak jadi taruhan masa depan. Media mengangkatnya. Netizen membelanya. Inara berdiri sebagai simbol perempuan yang dikhianati.
Lalu waktu berjalan.
Kini, Inara dilaporkan oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai istri sah dari pria yang diduga memiliki hubungan khusus dengannya. Tuduhannya berat. Isunya sensitif. Dan tentu saja headline berubah arah.
“Dulu Korban Perselingkuhan, Kini Inara Rusli Dilaporkan Jadi Pelakor.”
Judul semacam ini langsung memantik emosi. Klik berdatangan. Komentar membanjir. Tapi satu pertanyaan mendasar jarang diajukan:
>>> Apakah laporan otomatis berarti kebenaran?
Pelakor: Vonis Sosial yang Terlalu Murah
Di ruang publik Indonesia, kata pelakor punya kekuatan luar biasa.
Sekali disebut, diskusi berhenti.
Sekali dilekatkan, reputasi runtuh.
Padahal, mari jujur: pelakor bukan istilah hukum.
Ia bukan hasil putusan pengadilan. Ia adalah label sosial, emosional, menghakimi, dan sering kali dipakai sebelum fakta benar-benar diuji.
Dalam kasus Inara, proses hukum masih berjalan. Ada laporan, ada bantahan, ada versi berbeda. Inara melalui kuasa hukumnya menyatakan dirinya justru menjadi korban kebohongan status, mengaku tidak mengetahui bahwa pria tersebut telah beristri.
Pertanyaannya:
Jika benar ada kebohongan status, siapa yang seharusnya diposisikan sebagai pelaku utama?
Dan jika belum terbukti, mengapa vonis sosial sudah dijatuhkan?
Jejak Digital dan Dosa Masa Lalu yang Ditagih
Yang membuat kasus ini semakin “menggigit” adalah satu hal: masa lalu Inara sendiri.
Pernyataan-pernyataannya tentang pelakor di masa lalu kembali viral. Dipotong, diulang, dan dijadikan bumerang. Netizen seolah berkata:
“Kamu dulu mengutuk pelakor. Sekarang kamu ada di posisi itu.”
Di sinilah publik tak lagi mencari kebenaran, melainkan konsistensi moral.
Bukan soal apa yang terjadi sekarang, tapi soal apa yang pernah diucapkan dulu.
Apakah seseorang tidak boleh berubah?
Atau justru perubahan itulah yang dianggap dosa?
Korban dan Pelaku: Kenapa Harus Selalu Hitam-Putih?
Ada satu kebiasaan berbahaya dalam cara kita menilai:
kita suka memaksa dunia masuk ke dua kotak korban atau pelaku.
Padahal realitas hubungan manusia jauh lebih rumit. Ada kebohongan, manipulasi, ketidaktahuan, dan keputusan emosional yang lahir dari luka lama. Menjadi korban di masa lalu tidak otomatis membuat seseorang selalu benar. Tapi dituduh salah hari ini juga tidak otomatis menghapus hak untuk diperlakukan adil.
Pertanyaannya:
Apakah kita sedang membela nilai moral, atau hanya menikmati drama kejatuhan seseorang?
Apakah Inara Rusli bersalah?
Jawaban jujurnya: belum ada putusan.
Apakah mungkin ia melakukan kesalahan?
Mungkin iya, mungkin juga tidak, seperti manusia lainnya yang terkadang khilaf.
Namun pertanyaan yang lebih penting adalah:
kenapa kita begitu cepat memutuskan?
kenapa simpati bisa berubah menjadi amarah dalam satu siklus berita?
dan kenapa kita begitu nyaman menjadi hakim tanpa sidang?
Mungkin kasus ini bukan tentang Inara Rusli semata.
Mungkin ini cermin tentang kita tentang budaya menghakimi, tentang kegemaran menempelkan label, tentang keasyikan menjatuhkan sebelum memahami.
Karena hari ini kita menunjuk.
Besok, bisa jadi kita yang berada di kursi yang sama.
Dan saat itu tiba, pertanyaannya tinggal satu:
apakah kita masih ingin dihakimi secepat ini?
(Oleh: Ramli Kalao Lao)
Disclamer: "Artikel ini merupakan opini penulis berdasarkan informasi yang tersedia untuk publik. Pandangan yang disampaikan tidak mewakili sikap redaksi dan tidak dimaksudkan sebagai putusan hukum. Pembaca diharapkan menyikapi isi tulisan secara kritis sesuai ketentuan hukum yang berlaku".
