Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan

Di politik Indonesia, simbol sering kali diperlakukan seperti prestasi. Foto seremonial, gelar kehormatan, dan pernyataan dukungan kerap dianggap sebagai bukti kerja. Padahal, simbol hanyalah pembuka percakapan - bukan hasil. Di titik inilah pemberian status anggota kehormatan oleh Ormas Gerakan Rakyat kepada Anies Baswedan perlu dibaca dengan kepala dingin. Terlihat bermakna, terdengar strategis, namun belum tentu berisi.

Belakangan ini, publik disuguhi kabar bahwa Anies Baswedan menerima status anggota kehormatan dari Ormas Gerakan Rakyat. Secara kasat mata, langkah ini tampak wajar: relasi tokoh nasional dengan organisasi kemasyarakatan. Tidak ada deklarasi politik, tidak ada panggung besar, tidak ada slogan kampanye. Namun dalam praktik politik, gestur jarang berdiri sendiri. Ia selalu membawa pesan, meski disampaikan dengan nada rendah dan tanpa pengeras suara.

Masalahnya bukan pada seremoni itu sendiri, melainkan pada makna politik yang menyertainya. Ketika simbol mulai dibaca sebagai strategi jangka panjang, publik perlu berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya yang sedang dipersiapkan, dan untuk siapa? Apakah ini awal konsolidasi yang substantif, atau sekadar penanda kehadiran agar tidak dilupakan?

Menurut saya, langkah ini lebih mencerminkan politik isyarat yang minim beban daripada upaya serius membangun agenda kebijakan atau gerakan nyata. Ini adalah manuver aman, low commitment, high visibility. Anies tetap relevan di ruang publik tanpa harus mengambil risiko posisi, tanpa terikat pada program, dan tanpa kewajiban pertanggungjawaban. Dalam politik yang sehat, relevansi seharusnya datang dari kerja dan keputusan, bukan dari kehormatan simbolik.

Sejarah politik Indonesia memberi pelajaran yang cukup jelas. Ormas telah lama menjadi infrastruktur sosial mengakar di komunitas, bergerak senyap, dan mampu memobilisasi. Namun sejarah yang sama juga mencatat bagaimana ormas sering dipakai sebagai panggung legitimasi simbolik. Banyak tokoh dirangkul, difoto, diberi gelar, lalu menghilang dari agenda substantif. Publik mendapat seremoni; perubahan tak kunjung tiba. Maka, ketika status kehormatan kembali dijadikan sorotan, skeptisisme adalah sikap yang wajar.

Langkah Anies menerima status tersebut relatif aman secara politik. Tidak ada komitmen kebijakan yang harus dipenuhi. Tidak ada platform bersama yang diumumkan. Tidak ada tenggat kerja yang bisa ditagih. Ia efektif secara citra—mengirim pesan “masih ada” namun lemah secara substansi. Ini bukan pelanggaran etika, tetapi ia memperpanjang problem lama: politik yang terlalu nyaman bermain di level simbol.

Di sisi lain, Ormas Gerakan Rakyat juga patut dibaca kritis. Keputusan memberi anggota kehormatan kepada figur nasional tentu meningkatkan visibilitas. Itu mekanisme yang lazim dalam lanskap ormas yang bersaing perhatian. Namun pertanyaannya: ke mana arah energi itu? Apakah ada agenda advokasi yang jelas? Apakah ada peta jalan kerja bersama yang menyentuh kebutuhan warga? Tanpa jawaban, relasi ini berisiko menjadi simbiosis citra—tokoh mendapat legitimasi sosial, ormas mendapat sorotan tanpa hasil yang dapat diukur.

Kita sering terjebak pada asumsi bahwa setiap gestur adalah bagian dari rencana besar menuju 2029. Asumsi ini perlu dikoreksi. Politik jangka panjang memang ada, tetapi ia tidak dibangun dari simbol semata. Pemilih Indonesia hari ini lebih kritis. Mereka menagih dampak: harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, layanan publik, keadilan hukum. Status kehormatan tidak menjawab itu. Bahkan, jika tidak diikuti langkah konkret, ia berpotensi mengaburkan fokus.

Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa ini adalah konsolidasi awal, langkah sunyi yang wajar sebelum agenda diumumkan. Argumen itu masuk akal. Politik memang mengenal timing. Namun strategi tanpa kejelasan agenda hanya menunda, bukan menyelesaikan. Diam bisa dibaca sebagai kedewasaan; diam yang berkepanjangan tanpa arah mudah dibaca sebagai ketiadaan keberanian mengambil posisi.

Di sinilah persoalan mendasarnya. Politik bukan seni menghindari risiko selamanya. Pada titik tertentu, ia menuntut keputusan yang bisa diperdebatkan dan dipertanggungjawabkan. Jika Anies ingin membangun kembali relevansi menuju masa depan—entah 2029 atau kapan pun publik berhak melihat lebih dari sekadar jejaring simbolik. Mereka berhak mendengar posisi: tentang ekonomi rakyat, ketimpangan, tata kelola, dan etika kekuasaan. Tanpa itu, narasi akan selalu unggul dari realisasi.

Implikasinya lebih luas dari satu tokoh dan satu ormas. Jika politik isyarat tanpa beban terus dinormalisasi, demokrasi akan semakin menjauh dari kerja substantif. Kita akan sibuk menafsirkan tanda, membaca gestur, dan mengoleksi foto. Sementara masalah konkret tetap menumpuk. Politik berubah menjadi panggung simbol; warga menjadi penonton yang diminta sabar.

Pertanyaan kunci yang seharusnya diajukan publik sederhana namun tegas: apa langkah berikutnya? Jika tidak ada jawaban, maka peristiwa ini layak dicatat sebagai seremoni, bukan strategi. Kritik bukanlah penolakan; ia adalah mekanisme koreksi agar harapan tidak berubah menjadi ilusi yang rapi.

Politik tidak hidup dari kehormatan, pengakuan, atau simbol semata. Ia hidup dari keberanian mengambil posisi dan kesiapan menanggung konsekuensi. Tanpa itu, semua isyarat. Betapapun halus dan santunnya, hanya akan menjadi lampu yang menyala, tetapi kendaraan tidak pernah benar-benar bergerak.

(Oleh : Ramli Kalao Lao)
Baca Juga
Tag:
Berita Terbaru
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
  • Politik Diam-diam atau Politik Kosong? Pemberian Anggota Kehormatan pada Anies Baswedan
Posting Komentar
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad