ERKAEL.com - JAKARTA --- Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa rupiah tunai merupakan alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak boleh ditolak dalam transaksi yang sah, menyusul viralnya video yang memperlihatkan seorang lansia ditolak saat hendak membayar roti dengan uang tunai di salah satu gerai Roti’O. Pernyataan resmi itu disampaikan BI untuk meredam kebingungan publik serta menegaskan prinsip dasar sistem pembayaran di Indonesia.
Kasus itu bermula dari viralnya sebuah video di media sosial yang memperlihatkan seorang wanita lanjut usia tengah mencoba melakukan pembelian di gerai Roti’O, tetapi ditolak karena hanya menerima pembayaran non-tunai menggunakan QRIS. Di dalam cuplikan video tersebut, terlihat seorang pria mencoba membantu sang nenek yang hanya membawa uang fisik rupiah, namun kasir menyatakan hanya dapat melayani pembayaran melalui aplikasi atau metode digital. Insiden ini kemudian memicu perdebatan sengit di jagat maya mengenai hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha menerima uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah.
Bank Indonesia Buka Suara: Rupiah Wajib Diterima
Menanggapi polemik tersebut, BI melalui pernyataan resmi menegaskan kembali ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa rupiah adalah alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah NKRI dan tidak boleh ditolak, kecuali terdapat keraguan atas keaslian uang. Hal ini berarti dalam transaksi yang sah, pelaku usaha wajib menerima pembayaran dalam bentuk rupiah fisik.
“Rupiah tetap merupakan alat pembayaran yang sah dalam setiap transaksi di Indonesia. Kehadiran sistem pembayaran digital adalah untuk memberikan kemudahan, namun bukan untuk menggantikan kewajiban menerima uang tunai,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, dalam pernyataannya, Senin (22/12/2025).
Menurutnya, meskipun BI mendorong penggunaan pembayaran nontunai karena cepat, mudah, dan efisien, transaksi tunai tetap harus dilayani apabila digunakan oleh konsumen secara sah.
BI juga menegaskan bahwa sistem pembayaran digital seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) hanya merupakan sarana atau instrumen pembayaran, bukan substitusi terhadap uang tunai. Penggunaan QRIS telah berkembang pesat di kota-kota besar karena kecepatan dan kemudahannya, tetapi tidak boleh sampai melanggar hak konsumen yang ingin menggunakan uang rupiah fisik dalam transaksi.
Kepala Departemen Komunikasi BI menyatakan bahwa keragaman demografi dan tantangan geografis di Indonesia membuat uang tunai masih sangat relevan, terutama di wilayah dengan akses teknologi terbatas. Artinya, masyarakat di daerah pedesaan, perbatasan, atau yang belum terkoneksi teknologi digital tetap membutuhkan uang tunai sebagai instrumen pembayaran sehari-hari.
Roti’O Minta Maaf dan Janji Evaluasi Pelayanan
Pihak manajemen Roti’O kemudian angkat suara terkait insiden tersebut. Melalui unggahan di akun Instagram resmi mereka, manajemen mengaku menyesal atas ketidaknyamanan yang dialami pelanggan akibat kebijakan pembayaran non-tunai di beberapa gerai. Mereka menyatakan bahwa penerapan sistem pembayaran digital dimaksudkan untuk memberikan kemudahan serta akses ke berbagai promo, namun tidak bermaksud diskriminatif terhadap konsumen yang ingin membayar secara tunai.
Dalam pernyataannya, Roti’O juga berkomitmen untuk melakukan evaluasi internal terhadap kebijakan pembayaran di seluruh outlet mereka guna memastikan layanan yang inklusif dan sensitif terhadap kebutuhan pelanggan dari beragam latar belakang. Hal ini termasuk memberikan pilihan layanan yang adil bagi konsumen yang ingin menggunakan uang tunai.
Pelanggar Kebijakan Bisa Terkena Sanksi Hukum
Selain penegasan BI, sejumlah ahli hukum dan pejabat keuangan turut mengingatkan bahwa menolak menerima uang tunai dalam transaksi yang sah bisa melanggar ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan pasal yang terkait dengan mata uang, setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang digunakan sebagai alat pembayaran untuk menyelesaikan kewajiban finansial, kecuali jika ada keraguan serius atas keaslian uang tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bahkan bisa berujung pada sanksi pidana atau denda administratif.
Hal ini menegaskan bahwa usaha kecil maupun besar wajib memahami kerangka hukum yang mengatur alat pembayaran di Indonesia, sehingga kebijakan internal seperti hanya menerima pembayaran nontunai tidak bertentangan dengan kewajiban menerima uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Kasus Roti’O memicu resonansi yang luas di tengah masyarakat, terutama di media sosial, karena menyentuh isu hak konsumen, inklusi finansial, dan kebijakan digitalisasi ekonomi. Banyak netizen yang menyoroti bahwa meskipun digitalisasi sistem pembayaran memberikan banyak kemudahan, tidak semua lapisan masyarakat siap atau memiliki akses terhadap teknologi digital, sehingga hak mereka untuk menggunakan uang tunai harus tetap dihormati.
Beberapa pihak bahkan mengirimkan somasi atau protes resmi kepada pengelola gerai terkait karena dianggap telah melanggar hak konsumen dan ketentuan hukum yang berlaku. Diskusi ini kemudian berkembang ke ranah yang lebih luas mengenai bagaimana pelaku usaha dapat menyeimbangkan antara inovasi digital dan kewajiban legal dalam melayani berbagai segmen masyarakat.
Kasus viral terkait penolakan pembayaran tunai di sebuah gerai roti membuka kembali diskusi penting mengenai perlindungan hak konsumen dan keabsahan rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia tegas bahwa rupiah tunai tidak boleh ditolak dalam transaksi yang sah, sekaligus mendorong penggunaan digital sebagai pelengkap, bukan pengganti tunai. Praktik penolakan tunai oleh pelaku usaha berpotensi melanggar hukum dan harus mendapatkan perhatian serius demi terciptanya sistem pembayaran yang adil dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
